be curious with...

 


Oleh Mochamad Widjanarko
Suara Merdeka

Lebih dari seminggu, harian ini memberitakan informasi mengenai tindak criminal Very Idam Hensyansah alias Ryan, pelaku pembunuhan berantai dan mutilasi dari tindak brutal pelaku, keluarga perlaku serta korban-korbannya, termasuk juga prasangka orientasi seksual dan juga berita liputan kehidupan gay di Semarang. Hal ini membuat penulis merasa perlu untuk urun rembug menginformasikan perilaku Ryan berdasarkan kajian psikologi.

Di tempat penulis bekerja, dengan kolega staf pengajar atau mahasiswa, kasus ini menjadi bahan diskusi yang menarik dan actual, dari kenapa pelaku sampai melakukan kekerapan pembunuhan, motif tinfakan sampai pada kondisi lingkungan pelaku.

Dalam diskusi, kita bersepakat tidak membahas orientasi seksual pelaku karena berusaha memahami, dan berpikir kritis. Berkolerasi dengan hal ini, Ryan melakukan pembunuhan, mutilasi bukan dikarenakan orientasi seksualnya tetapi akibat dari kepribadiannya yang rapuh dan tidak sehat. Oleh Cleckey (1976) dikatakan sebagai gangguan kepribadian antisocial, seorang pesikopat yang melakukan kegiatan tanpa tujuan, tidak memiliki perasaan gundah dan rasa malu, merasa tidak melakukan kejahatan.

Psikologi Kriminologi

Setiap individu memiliki suatu mekanisme yang dapat membantu mengatur dan mengarahkan perilaku yaitu control diri. Kontrol diri mengakibatkan tiga hal.

Pertama, memilih dengan sehaja. Kedua, pilihan antara dua perilaku yang bertentangan, satu perilaku menawarkan kepuasan dengan segera. Sedangkan perilaku yang lain menawarkan ganjaran jangka panjang. Ketiga, menanipulasi stimulus agar satu perilaku yang lain lebih mungkin dilakukan (Skinner dalam Calhoun dan Acocella, 1990).

Dalam situasi yang sulit, seseorang dihadapkan untuk cepat membuat keputusan, reaksi apa yang harus dilakukannya terhadap keadaan yang dihadapinya. Pola pikir juga ikut berpengaruh. Apa yang menurut seseorang dianggap melewati batas-batas kewajaran, bias saja menurut pola piker orang lain memang dibutuhkan. Hal-hal tersebut menyebabkan kesalahan seorang individu dalam memutuskan perilaku dalam menghadapi suatu situasi tertentu, sehingga mengakibatkan terjadinta indakan brutal (Bornstein, 1993).

Selain itu, kondisi yang melatarbelakangi suatu tindakan brutal oleh seseorang juga mempengaruhi penilaian tentang batas kewajaran tersebut. Asumsi penulis, bisa jadi Ryan yang tidak jelas memiliki pekerjaan ini melakukan tindakan pembunuhan dengan alas an keinginan menguasai harta, barang korban untuk bersenang-senang, hedonis kemudian memutilasi dikarenakan ada rasa kekhawatiran terbongkar kejahatannya.

Alasan pelaku dikarenakan “pacar”nya mau dipakai korban merupakan rasionalisasi yang sangat subyektif dan mengaburkan alas an sebenarnya. Tindakan brutal dilakukan setelah tidak adanya control diri yang wajar.

Sebagai slaah satu sifat kepribadian, control diri pada satu individu dengan yang lain tidaklah sama. Ada yang memiliki kontrol diri tinggi dan ada yang rendah. Mereka yang memiliki kontrol diri tinggi mamapu mengubah kejadian dan menjadi agen utama dalam mengarahkan dan mengatur perilaku, membawa kepada konsekuensi positif.

Oleh karenanya kontrol diri berupa kemampuan mendapatkan konsekuensi positif juga untuk mengatasi konsekuensi negative. Sesorang yang mempunyai kontroil diri yang tinggi akan mampu memandu, mengarahkan dan mengatur perilakunya begitu sebaliknya.

Seseorang yang mengalami impulsivitas atau memiliki kecenderungan tidak sabaran, mencari keuntungan langsung. Terpecah perhatiannya dan bertindak tanpa berpikir, cenderung mengalami kebingungan dalam menentukan suatu pilihan, baik dalam memilih pekerjaan, pasangan hidup atau kepastian hidup.

Farrington (1998) menyatakan, orang impulsive adalah mereka yang kekurangan penghambat internal. Umumnya terkait dengan kesadaran mengenai benar-salahnya suatu perilaku, sehingga seseorang harus memiliki self-control dan impulsity, yautu kemampuan menunda, mengubah, atau menghentikan suatu respon negative. Asumsinya, para criminal termasuk juga orang dengan kepribadian psikopatik seperti Ryan biasanya penganut gaya hidup antisocial dan kanak-kanak agresif dan diasumsikan berkemampuan rendah mengontrol impulse.

Perilaku Ryan melakukan tindak kejahatan yang sistematis, rapi, dan tersembunyi. Oleh Sellin, 1987 digulirkan factor-faktor timbulnya kejahatan yang tersembunyi (the hidden crimes).
Pertama kejahatan tersebut pada hakikatnya bersifat pribadi (secret deviance). Acap kali pelaku dengan sungguh-sungguh merahasiakan perbuatannya, sehingga sukar untuk diketahui orang lain.

Kedua, pihak yang dirugikan tidak inigin kejahatan diketahui orang lain atau pihak berwajib.

Ketiga, rasa tidak senang melaporkan kejadian kejahatan kepada pihak yang berwajib, karena keenggaanan menjadi saksi dan bahkan dicurigai oleh pihak yang berwajib, bahwa dirinya terlibat perbuatan jahat tersebut.

Keempat, adanya pendapat umum tidak menyukai diperlakukannya aturan-aturan hukum tertentu.

Kelima, berbagai kejahatan yang pada hakikatnya memang berat untuk dilaporkan oleh pelanggarnya sendiri misalnya kasus korupsi.

Keenam, adanya kondisi kesadaran pelaporan yang tidak stabil atau konstan, sehingga partisipasi pelaporan oleh masyarakat naik turun.

Ketujuh, dari pihak korban terhadap keenganan melaporkan kejahatan yang menimpa mereka karena merasa malu, takut ancaman, balas dendam dari pelaku atau adanya hubungan social khusus dengan pelaku seperti masih saudara, kekasih.
Kontrol Sosial

Perilaku Ryan dengan melakukan pembunuhan berantai dan mutilasi, secara hokum adalah perbuatan salah dan berat hukumannya, tetapi secara sodial tidak bias begitu saja disandang ke pelaku. COba kita lihat dan berpikir, berkontemplasi 15 menit dengan menembus batas fisik dan wadah berintrospeksi ke perilaku kita, interaksi ke pasangan, saudara, anak-anak, orang tua, teman kerja, atau tetangga. Kita akan dapat “energy” baru berupa kesadaran bahwa tatanan kondisi social masyarakat banyak berubah. Bisa jadi kehidupan mulai mengarah pada individualis, anti social, dengan tetangga tidak kenal, tidak lagi saling bantu membantu, memusnahkan empati kita. Kondisi-kondisi ini secara tidak langsung juga memiliki andil dalam terwujudnya perilaku Ryan.

Kasus Ryan hanyalah merupakan salah satu dari pncak gunung es, di sekeliling masih ada Ryan-Ryan yang lain. Individu berperilaku antisocial, autistic memikirkan keperntingannya sendiri, sulit untuk mengatakan maaf jika melakukan kesalahan dan merasa paling benar sendiri.
Oleh karenanya, perlu dimunculkan inisiasi-inisiasi berkomunikasi yang efektif dengan keluarga, berinteraksi kepada tetangga serta melakukan tindakan empatis terhadap sesama. Hal ini sebetulnya bias dilakukan olerh semua orang dengan tidak lagi mengenal batas jenis kelamin, pekerjaan, suku, agama, apalagi orientasi seksual, artinya semua orang bias jika ada keinginan untuk memulai melakukan, demi kesehatan jiwa social kita. (13)

*Mochamad Widjanarko, staf pengajar di fakultas psikologi Universitas Muria Kudus. Peneliti Sosial

0 comments:

) ) ;;) ( :X =(( :-/ :-* :| 8-} ] ~x( b-( x( =))

Post a Comment

Blog Widget by LinkWithin
10% Off All Fragrances
Get 10% off every item you purchase at FragranceX.com!