andra basangih wrote:
Beberapa waktu lalu gue kenal ama seseorang. Dia lumayan borju masih muda, punya kerjaan bagus. Dia memang terlahir dari keluarga kaya. Kita berbincang tentang banyak hal tapi lebih cenderung ke hobi, sampai kemudian dia bicara tentang tekadnya untuk menikah dengan bfnya di usia30. Dan sekarang mereka lagi nabung untuk beli rumah. Jujur gue kaget dengan rencana mereka. Saat gue tanya, gimana kalo ortunya marah atau gak ngijinin dengan enteng dia bilang, keluar rumah aja kan udah punya rumah sendiri! Awalnya gue berpikir, gila juga nih anak. Tapi setelah gue tahu kondisi keluarganya yang memang individualis banget gue jadi paham. bayangin aja ama adiknya aja gak pernah ngobrol apalagi curhat, pokoknya dah sama2 cuek.. Saat dia bilang kalo gue munafik karena gue gak mau terbuka, gue sedikit marah juga. Tapi buat apa?
Mungkin dia tidak akan pernah tahu gimana rasanya menyayangi keluarga dan hasrat untuk tidak membuat dia kecewa. Sebagai perbandingan dia mungkin tak pernah tahu gimana orang tuanya berjuang untuk menghidupi keluarga dan membiayayi sekolah karena semua serba ada. Tapi gue yang sedari kecil melihat gimana bokap tiap pagi buta pergi kesawah meskid alam keadaan sakit, terjemur panas matahari dan hujan, atau nyokap gue yang harus bangun jam4 tiap pagi agar gue bisa sarapan jam5.30 sebelum kesekolah? Atau kakak2 gue yang rela tidak bersekolah asal gue aja yang bisa lanjut terus bersekolah dengan harapan bisa memabwa nama baik keluarga? Apa saya bisa tega menghancurkan harapan mereka? Apakah tidak namanya egois kalau kita hanya menuruti kata hati kita tanpa memikirkan perasaan keluarga? Apakah ini sebuah pengorbanan yang berat? Dan apakah ini sudah sepadan dengan pengorbanan mereka? Mungkin saja saya tetap mereka sayangi meski mereka tahu saya Gay
tapi...kekecewaan tentu saja tetap akan membekas di hati mereka..
Ah, tentu saja saya juga ingin bersikap jujur tapi saya lebih memilih melihat orang2 disekeliling saya tetap merasa bahagia.
Semua pilihan tentu saja melalui sebuah pertimbangan menikah atau tidak adalah sebuah pilihan dengan berbagai resiko.
studioworks wrote:
gw mau kasih pendapat dikit yah...
ada sebagian orang yang bisa melakukan itu (keterbukaan) terhadap keluarganya, tapi di bagian lain lebih banyak yang tidak bisa terbuka dengan keluarga, diantaranya yah sebagai pertimbangan untuk kebahagiaan keluarga selama ini dan juga pertimbangan lain yang tidak mungkin tiap orang ungkapkan satu-persatu. ..
saya setuju dengan pendapat kamu yang lebih memilih untuk melihat situasi yang sudah baik dan tidak ingin merusaknya karena ingin pengakuan terhadap keluarga, tapi kita tidak bisa memvonis seseorang dengan kata kalo menikah sesama gay itu egois, dan tidak melihat keadaan keluarga.. dan apabila seseorang itu sdh bisa menata hidupnya dengan lebih baik bila dia menikah mungkin lebih baik , tapi kita jgn menyangkut pautkan karena keadaan /taraf hidup dia lebih baik dan kita tidak... tapi kita lihat dari kebesaran hatinya untuk mengungkapkan jati dirinya kepada keluarganya. . karena mungkin dengan begitu dia merasa lebih nyaman...
mungkin itu saja pendapat saya... kalo gak ada yang berkenan maaf deh...
thnx
Lelaki Apa Adanya wrote:
Untuk rekan studiowork,
harusnya anda tidak bisa menjudge rekan andra yang menilai pendapat temannya (bahkan andra sempat marah) dengan menyangkut pautkan keadaan ekonomi/taraf hidup. Lihat dulu apa yang jadi penyebab dia berkomentar seperti itu. Kalau yg saya lihat ia mengatakan itu lebih untuk mengungkapkan bahwa ia tidak mau mengecewakan keluarganya yang sudah susah payah membesarkannya di sela kesulitan ekonomi, lalu tiba2 ketika ia dewasa mengaku kalau ia gay, dan membuat keluarganya kecewa. Saya rasa itu hal wajar. Sama juga seperti yg saya alami. Mungkin keluarga saya termasuk yang konservatif, sehingga tidak akan pernah bagi saya untuk membuat pengakuan yang akhirnya membuat mereka kecewa. Saya rasa ini bukan masalah egois, munafik, jika kita tidak mau terbuka. Kita juga harus melihat orang2 di sekeliling kita, reaksi mereka seperti apa. Mungkin memang nyaman dan plong bila kita bisa terbuka. Tapi apa kita harus memaksakan diri jika kita tidak mungkin untuk terbuka (misal sama keluarga) dengan niat untuk tidak mengecewakan mereka. Saya lebih memilih tidak nyaman dan munafik selama tidak menyakiti orang-orang yang kita sayangi.
Harusnya kenalannya andra juga jangan mudah menjudge situasi yang berbeda pada tiap orang. Mungkin dia bisa terbuka karena keluargnya memang demokratis atau sebaliknya saking cueknya (hubungan mereka tidak dekat, individualis) sehingga untuk hal2 seperti ini semua diserahkan ke anaknya. Dan anak itu pun dengan entengnya bisa bilang "tinggal pindah rumah" jika diusir. Ia bisa bilang begitu karena sedang dalam kondisi mapan, ada BF (sedang tidak sendiri). Andaikan ia menempatkan diri sebagai orang yang tidak mapan, tidak punya rumah sendiri, sedangkan ia diusir karena telah terbuka? apa mau jadi gelandangan atau jauh dari keluarga yang telah membesarkannya?
Siapapun orangnya harusnya bisa menilai sesuatu dari sudut pandang orang lain, bisa memahami perasaan orang lain.
Tidak semua gay bisa hidup dengan terbuka, bebas mengekspresikan jati dirinya. Meskipun sekarang di Indonesia makin banyak gay yang terbuka, tapi tak dapat dipungkiri beberapa lingkungan baik lingkungan kerja, keluarga dsb belum bisa menerima kaum gay apalagi jika tahu salah satu anggota keluarganya, karyawannya dsb ternyata gay. Bagi yang ingin terbuka silahkan, bagi yang tetap ingin discreet juga pilihan mereka. Jangan mudah menilai munafik, egois atau apapun pada pilihan orang. Jika ingin menilai paling tidak berusaha memilah milah dan berusaha menempatkan posisi kita di posisi orang lain. Biarkan setiap individu hidup dengan opsinya masing masing....