be curious with...

 

Showing posts with label literacy. Show all posts
Showing posts with label literacy. Show all posts


Tiga dekade riset terhadap stimulasi seksual pria telah menunjukkan pola orientasi seksual yang jelas. Pria gay lebih mudah terstimulasi secara seksual terhadap foto pria dan pria heteroseksual terhadap foto perempuan. Dengan kata lain, pola stimulasi seksual pria seakan sudah jelas.
Namun penemuan dari riset Northwestern University telah memperluas riset terbatas pada seksualitas perempuan dengan adanya penemuan berbeda terkait dengan stimulasi seksual perempuan. Sangat berbeda dengan pria, baik perempuan lesbian dan heteroseksual cenderung terstimulasi secara seksual oleh stimulasi erotik pria dan perempuan, oleh karena itu memiliki pola stimulasi biseksual. “Temuan ini mewakili perbedaan mendasar antara otak pria dan perempuan, dan memiliki implikasi penting untuk memahami perbedaan pengembangan orientasi seksual antara pria dan perempuan”, demikian kata J. Michael Bailey, Profesor Psikologi pada Northwestern dan peneliti senior pada riset “ Perbedaan seks pada spesifisitas stimulasi seksual.” Riset ini telah diterbitkan pada journal of Psychological Science. Fokus utama Riset Bailey adalah genetika dan pengaruh lingkungan pada orientasi seksual, dan dia adalah salah satu peneliti kunci pada riset yang sering diacu mengenai adanya pengaruh genetika pada homoseksualitas pria.

Orientasi Seksual

Seperti pada banyak kajian mengenai seksualitas, riset terhadap pola stimulasi seksual perempuan jauh tertinggal dibanding pada pria, namun riset mutakhir pada subjek tersebut telah memberi petunjuk, bahwa dibandingkan dengan pria, pola stimulasi seksual perempuan ternyata tidak terlalu berhubungan dengan orientasi seksual mereka. Riset dari Northwestern membuktikan bahwa hal ini benar. Peneliti Northwestern mengukur stimulasi seksual secara psikologis dan fisiologis/faal pada pria dan perempuan homoseksual dan heteroseksual, selama mereka menonton film erotik. Ada tiga tipe film erotik: Melibatkan hanya pria, Melibatkan hanya perempuan, dan melibatkan kedua jenis kelamin. Sama dengan riset sebelumnya, peneliti menemukan bahwa respon pria konsisten dengan orientasi seksual. Sebagai kontras, baik perempuan homoseksual dan heteroseksual menunjukkan pola biseksual secara psikologis dan juga secara stimulasi genital. Faktanya, perempuan heteroseksual mengalami stimulasi seksual dengan menonton stimulasi erotik perempuan, sama halnya dengan menonton stimulasi erotik pria, walaupun mereka lebih suka berhubungan seks dengan pria daripada dengan perempuan.

“Faktanya, mayoritas mutlak perempuan pada masyarakat barat kontemporer hanya berhubungan seks secara eksklusif dengan pria.” kata Meredith Chivers, Kandidat doktor Psikologi klinis pada Northwestern University, Intern psikologi pada Centre for Addiction and Mental Health dan pengarang pertama pada riset. “ Namun saya sudah lama mencurigai bahwa seksualitas perempuan sangat berbeda dengan pria, dan riset ini menunjukkan bahwa memang secara saintifik demikian.” Menurut Chivers, Hasil riset ini menunjukkan bahwa seksualitas perempuan cenderung memiliki fleksibilitas lebih tinggi daripada pria dia area lain diluar orientasi seksual. “Jika dikumpulkan bersama, hasil ini menunjukkan bahwa seksualitas perempuan berbeda dengan pria, dan diperlukannya model pengembangan dan organisasi dari seksualitas perempuan secara independen dari model seksualitas pria.” Demikian kata dia.

Alasan Berbeda

Riset ini melibatkan empat pengarang, termasuk Bailey dan tiga mahasiswa pasca sarjana di departemen psikologi Northwester, Chivers, Gerulf Rieger dan Elizabeth Latty. “ Sebagian besar perempuan seperti bisa mengalami stimulasi seksual dari kedua jenis keamin. Mengapa mereka memilih satu dari yang lain?”. Tanya Bailey. “Mungkin karena alasan lain dari stimulasi seksual.” Sejak awal 1960an pria homoseksual dan heteroseksual menunjukkan respon secara spesifik terhadap stimulasi seksual dari pria dan perempuan. Film yang meprovokasi respons seksual terbesar, dan film dari pria berhubungan seksual dengan pria, atau perempuan berhubungan seks dengan perempuan memprovokasi perbedaan terbesar antara pria homoseksual dan heteroseksual. Menonton hubungan seks heteroseksual dapat menarik pada pria homoseksual dan heteroseksual, namun dengan alasan berbeda.

Biasanya, pria mengalami stimulasi genital dan psikologis ketika mereka menonton film yang sesuai dengan orientasi seksual mereka, namun tidak demikian jika berbeda orientasi seksual. Pola spesifik pria terhadap stimulasi seksual adalah fakta yang sangat jelas, bahwa stimulasi genital dapat digunakan untuk mengevaluasi preferensi seksual pria. Bahkan pria gay yang menolak homoseksualitas mereka akan lebih terstimulasi secara seksual dengan stimuli pria daripada stimuli perempuan. “ Fakta bahwa pola stimulasi seksual perempuan yang tidak bisa diprediksi dari orientasi seksual menunjukkan bahwa pria dan perempuan memiliki pikiran dan otak yang sangat berbeda.” Demikian kata Bailey.


Oleh Mochamad Widjanarko
Suara Merdeka

Lebih dari seminggu, harian ini memberitakan informasi mengenai tindak criminal Very Idam Hensyansah alias Ryan, pelaku pembunuhan berantai dan mutilasi dari tindak brutal pelaku, keluarga perlaku serta korban-korbannya, termasuk juga prasangka orientasi seksual dan juga berita liputan kehidupan gay di Semarang. Hal ini membuat penulis merasa perlu untuk urun rembug menginformasikan perilaku Ryan berdasarkan kajian psikologi.

Di tempat penulis bekerja, dengan kolega staf pengajar atau mahasiswa, kasus ini menjadi bahan diskusi yang menarik dan actual, dari kenapa pelaku sampai melakukan kekerapan pembunuhan, motif tinfakan sampai pada kondisi lingkungan pelaku.

Dalam diskusi, kita bersepakat tidak membahas orientasi seksual pelaku karena berusaha memahami, dan berpikir kritis. Berkolerasi dengan hal ini, Ryan melakukan pembunuhan, mutilasi bukan dikarenakan orientasi seksualnya tetapi akibat dari kepribadiannya yang rapuh dan tidak sehat. Oleh Cleckey (1976) dikatakan sebagai gangguan kepribadian antisocial, seorang pesikopat yang melakukan kegiatan tanpa tujuan, tidak memiliki perasaan gundah dan rasa malu, merasa tidak melakukan kejahatan.

Psikologi Kriminologi

Setiap individu memiliki suatu mekanisme yang dapat membantu mengatur dan mengarahkan perilaku yaitu control diri. Kontrol diri mengakibatkan tiga hal.

Pertama, memilih dengan sehaja. Kedua, pilihan antara dua perilaku yang bertentangan, satu perilaku menawarkan kepuasan dengan segera. Sedangkan perilaku yang lain menawarkan ganjaran jangka panjang. Ketiga, menanipulasi stimulus agar satu perilaku yang lain lebih mungkin dilakukan (Skinner dalam Calhoun dan Acocella, 1990).

Dalam situasi yang sulit, seseorang dihadapkan untuk cepat membuat keputusan, reaksi apa yang harus dilakukannya terhadap keadaan yang dihadapinya. Pola pikir juga ikut berpengaruh. Apa yang menurut seseorang dianggap melewati batas-batas kewajaran, bias saja menurut pola piker orang lain memang dibutuhkan. Hal-hal tersebut menyebabkan kesalahan seorang individu dalam memutuskan perilaku dalam menghadapi suatu situasi tertentu, sehingga mengakibatkan terjadinta indakan brutal (Bornstein, 1993).

Selain itu, kondisi yang melatarbelakangi suatu tindakan brutal oleh seseorang juga mempengaruhi penilaian tentang batas kewajaran tersebut. Asumsi penulis, bisa jadi Ryan yang tidak jelas memiliki pekerjaan ini melakukan tindakan pembunuhan dengan alas an keinginan menguasai harta, barang korban untuk bersenang-senang, hedonis kemudian memutilasi dikarenakan ada rasa kekhawatiran terbongkar kejahatannya.

Alasan pelaku dikarenakan “pacar”nya mau dipakai korban merupakan rasionalisasi yang sangat subyektif dan mengaburkan alas an sebenarnya. Tindakan brutal dilakukan setelah tidak adanya control diri yang wajar.

Sebagai slaah satu sifat kepribadian, control diri pada satu individu dengan yang lain tidaklah sama. Ada yang memiliki kontrol diri tinggi dan ada yang rendah. Mereka yang memiliki kontrol diri tinggi mamapu mengubah kejadian dan menjadi agen utama dalam mengarahkan dan mengatur perilaku, membawa kepada konsekuensi positif.

Oleh karenanya kontrol diri berupa kemampuan mendapatkan konsekuensi positif juga untuk mengatasi konsekuensi negative. Sesorang yang mempunyai kontroil diri yang tinggi akan mampu memandu, mengarahkan dan mengatur perilakunya begitu sebaliknya.

Seseorang yang mengalami impulsivitas atau memiliki kecenderungan tidak sabaran, mencari keuntungan langsung. Terpecah perhatiannya dan bertindak tanpa berpikir, cenderung mengalami kebingungan dalam menentukan suatu pilihan, baik dalam memilih pekerjaan, pasangan hidup atau kepastian hidup.

Farrington (1998) menyatakan, orang impulsive adalah mereka yang kekurangan penghambat internal. Umumnya terkait dengan kesadaran mengenai benar-salahnya suatu perilaku, sehingga seseorang harus memiliki self-control dan impulsity, yautu kemampuan menunda, mengubah, atau menghentikan suatu respon negative. Asumsinya, para criminal termasuk juga orang dengan kepribadian psikopatik seperti Ryan biasanya penganut gaya hidup antisocial dan kanak-kanak agresif dan diasumsikan berkemampuan rendah mengontrol impulse.

Perilaku Ryan melakukan tindak kejahatan yang sistematis, rapi, dan tersembunyi. Oleh Sellin, 1987 digulirkan factor-faktor timbulnya kejahatan yang tersembunyi (the hidden crimes).
Pertama kejahatan tersebut pada hakikatnya bersifat pribadi (secret deviance). Acap kali pelaku dengan sungguh-sungguh merahasiakan perbuatannya, sehingga sukar untuk diketahui orang lain.

Kedua, pihak yang dirugikan tidak inigin kejahatan diketahui orang lain atau pihak berwajib.

Ketiga, rasa tidak senang melaporkan kejadian kejahatan kepada pihak yang berwajib, karena keenggaanan menjadi saksi dan bahkan dicurigai oleh pihak yang berwajib, bahwa dirinya terlibat perbuatan jahat tersebut.

Keempat, adanya pendapat umum tidak menyukai diperlakukannya aturan-aturan hukum tertentu.

Kelima, berbagai kejahatan yang pada hakikatnya memang berat untuk dilaporkan oleh pelanggarnya sendiri misalnya kasus korupsi.

Keenam, adanya kondisi kesadaran pelaporan yang tidak stabil atau konstan, sehingga partisipasi pelaporan oleh masyarakat naik turun.

Ketujuh, dari pihak korban terhadap keenganan melaporkan kejahatan yang menimpa mereka karena merasa malu, takut ancaman, balas dendam dari pelaku atau adanya hubungan social khusus dengan pelaku seperti masih saudara, kekasih.
Kontrol Sosial

Perilaku Ryan dengan melakukan pembunuhan berantai dan mutilasi, secara hokum adalah perbuatan salah dan berat hukumannya, tetapi secara sodial tidak bias begitu saja disandang ke pelaku. COba kita lihat dan berpikir, berkontemplasi 15 menit dengan menembus batas fisik dan wadah berintrospeksi ke perilaku kita, interaksi ke pasangan, saudara, anak-anak, orang tua, teman kerja, atau tetangga. Kita akan dapat “energy” baru berupa kesadaran bahwa tatanan kondisi social masyarakat banyak berubah. Bisa jadi kehidupan mulai mengarah pada individualis, anti social, dengan tetangga tidak kenal, tidak lagi saling bantu membantu, memusnahkan empati kita. Kondisi-kondisi ini secara tidak langsung juga memiliki andil dalam terwujudnya perilaku Ryan.

Kasus Ryan hanyalah merupakan salah satu dari pncak gunung es, di sekeliling masih ada Ryan-Ryan yang lain. Individu berperilaku antisocial, autistic memikirkan keperntingannya sendiri, sulit untuk mengatakan maaf jika melakukan kesalahan dan merasa paling benar sendiri.
Oleh karenanya, perlu dimunculkan inisiasi-inisiasi berkomunikasi yang efektif dengan keluarga, berinteraksi kepada tetangga serta melakukan tindakan empatis terhadap sesama. Hal ini sebetulnya bias dilakukan olerh semua orang dengan tidak lagi mengenal batas jenis kelamin, pekerjaan, suku, agama, apalagi orientasi seksual, artinya semua orang bias jika ada keinginan untuk memulai melakukan, demi kesehatan jiwa social kita. (13)

*Mochamad Widjanarko, staf pengajar di fakultas psikologi Universitas Muria Kudus. Peneliti Sosial


barudak kasep wrote:
dikutip dari kompas
http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2008/08/09/ 01204516/ ryan.dan. kita

untunglah ada yg mau susah susah nulis ttg ryan dan gay

Menjernihkan air keruh
Ada begitu banyak gay yang melatih kebugaran tubuh, tetapi banyak di antara mereka tidak membunuh. Jadi, latihan kebugaran tubuh semata bukan penyebab pembunuhan. Ada banyak gay yang cemburu pada pacarnya, tetapi banyak gay pencemburu masih menghargai kehidupan. Jadi, kecemburuan semata bukan penyebab pembunuhan.

Apa yang dilakukan Ryan adalah cermin gejolak kejiwaan yang kompleks, yang mencerminkan dinamika internal kejiwaannya dan pengalaman sosial yang traumatis. Dinamika internal yang dimaksud di sini adalah gejolak subyektif Ryan; sementara interaksi traumatis adalah hubungan sosial Ryan dengan orang-orang penting dalam hidupnya (significant others) yang menyisakan pengalaman pahit.

Filsuf Perancis, Paul Ricoeur, pernah mengemukakan, setiap orang memiliki rasa keadilan (sens de la justice). Perasaan pribadi inilah yang membuat kita mendambakan keadilan. Buah dari keadilan itu adalah kedamaian yang dicapai lewat rute panjang di mana kita harus belajar menghargai diri sendiri (self-esteem) sambil menerima penghargaan dari orang lain (self-respect) .

Dalam interaksi sosial, aliran rasa keadilan itu bisa terhambat. Apa yang dianggap adil oleh satu orang bisa dipaksakan kepada orang lain. Dengan demikian, suara keadilan dari orang lain diabaikan dan egoisme menjadi dominan. Efeknya, hak-hak orang lain dicederai sehingga
terjadi transgression (pelanggaran hak). Dari situ menetas aneka kejahatan, seperti dilakukan Ryan.

Ada satu kasus. Seorang transjender pernah berkeluh kesah pada saya tentang bagaimana orang-orang di sekitarnya tidak memahami dirinya. Ia mengaku sering ditolak, dicemooh, dan diasingkan dalam pergaulan sosial. Di akhir keluh kesahnya itu, ia berkata, "Saya ingin membunuh mereka semua". Meski tidak sepakat, saya bisa memahami letupan emosional itu.

Saya percaya, setiap orang bisa mengalirkan kebaikan dalam iklim cinta (love) dan perhatian (caring). Tanpa kehadiran dua kekuatan ini, kebaikan ditenggelamkan oleh kebencian. Bila kebencian telanjur dominan, cinta harus kembali dihidupkan. Ini disebut homeostasis, yaitu upaya menciptakan keseimbangan yang sehat. Situasi sosial berperan besar membantunya.


Lebih dari separuh kasus pembunuhan yang melibatkan kaum homoseksual, dimutilasi. Pelaku umumnya menusuk korban lebih dari 10 kali tikaman. Kasus dilakukan secara spontan, terkait pasangan seks dan dilakukan secara spontan. Apakah ini menunjukkan, perilaku sosial kaum homoseksual lebih kejam dari perilaku masyarakat heteroseksual?

Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro, Komisaris Besar Carlo Brix Tewu, Rabu (16/7) malam, mengatakan, lebih dari separuh kasus pembunuhan yang melibatkan homoseks, berakhir dengan mutilasi. Kasus umumnya dilakukan secara spontan dan terkait dengan persoalan pasangan seks. Angkanya saya punya, tetapi tidak di tangan saya sekarang. Jadi saya sebut saja, lebih dari separuh berakhir mutilasi, tuturnya.

Kepala Satuan Kejahatan dengan Kekerasan, Ajun Komisaris Besar Fadhil Imran menambahkan, Kamis (16/7) siang, korban sekurangnya ditikam dalam 10 kali tikaman. Korban tewas Heri Santoso (40) misalnya, ia ditikam tersangka Ryan (Verry Idham Henyaksyah, 30) dengan sebelas kali tikaman. Juga pelaku dewasa dalam kasus sodomi anak-anak di bawah lima tahun yang pernah saya tangani. Tersangka, tega menikam korbannya yang masih kecil dengan 10 kali tikaman, hanya karena si anak yang sudah lama disodomi, hari itu menolak disodomi,papar Fadhil.

Pelaku seolah ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa ia benar-benar marah, lanjutnya. Menurut Fadhil, dalam kasus pembunuhan yang dilakukan masyarakat heteroseksual, pelaku cukup menikam korban sekali dua kali saja, tanpa atau dengan mutilasi.

Heri dibunuh Ryan di kamar 309A, Blok C Margonda Garden Residence, Depok, Jum’at (11/7) pukul 20.00. Ryan membunuh Heri setelah Heri menawar Noval (Novel Andrias) pacar Ryan. Ryan tersinggung. Heri ditikam dengan 11 kali tikaman. Mayatnya dipotong tujuh bagian, disimpan dalam travel bag, koper, dan sebuah tas plastik, lalu di buang ke dua lokasi di tepi Jalan Kebagusan Raya, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Sabtu (12/7) subuh.


Crime of Passion

Prof Dr Marjono Reksodipuro, mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), yang dihubungi Kamis (17/7) mengatakan, identifikasi kasus dan pelaku yang disampaikan Carlo dan Fadhil belum menunjukkan kaum homoseksual lebih kejam dari masyarakat yang heteroseksual. Terkesan menjadi lebih kejam karena umumnya, kalangan homoseks meledak dalam basis crime of passion dengan latar belakang yang sama, soal pasangan seks.

Marjono mengatakan, basis kejahatan masyarakat heteroseksual lebih beragam dan latar belakang atau motifnya pun bermacam-macam. Itu sebabnya, prosentase rangkaian kejahatan keji yang dilakukan masyarakat heteroseksal, lebih kecil berbanding total kejahatan yang mereka lakukan.
Kejahatan homoseks yang muncul ke publik hanya rangkaian kejahatan keji, yang nyaris melulu menyangkut pasangan seks. Timbul kemudian citra, kaum homoseks itu umumnya keji.

Padahal, kekejian itu hanya sebatas menyangkut persoalan pasangan seks, kilah Marjono. Menurut dia, Crime of passion adalah ledakan kemarahan yang membabi buta karena merasa terhina, dan cemburu, yang membuat pelaku membunuh atau menganiaya berat. Biasanya berlangsung secara spontan, tidak terorganisir dan terencana. Oleh karena itu, para pelaku umumnya terjerat pasal 338 atau 339 KUHAP, tambah Kriminolog UI, Prof Dr Adrianus Meliala yang dihubungi terpisah.

Pada kaum homoseksual, lanjut Kriminolog UI lainnya, Prof Dr Ronny Niti Baskoro, crime of passion bisa dipicu unsur lain, yaitu unsur ketakutan kehilangan peran karena pasangannya terancam hilang. Guru Besar Fakultas Psikologi UI, Prof Dr Sarlito Wirawan, Adrianus, dan Marjono mengakui, rendahnya populasi kaum homoseksual menyebabkan kalangan ini mudah mengalami distres, mudah panik. Crime of passion diantara homoseks terjadi lebih keras karena berlangsung di antara para pria.

Menurut mereka, asmara yang tumbuh di antara mereka adalah cinta Platonis, mencinta untuk menguasai dengan pendekatan, looose-loose solution, dan bukan win-win solution. Dengan kata lain, dalam kasus-kasus perebutan, perselingkuhan dan pertengkaran asmara, kaum homoseks umumnya berprinsip, Kalau saya tidak dapat, makan kamu pun tidak akan mendapat dia. Interaksi berlangsung agresif saling menghancurkan,ungkap Sarlito.

Peran permanen

Menurut dia dan Adrianus, dalam menjalin asmara, kaum homoseks tidak mengenal konsep belahan jiwa. Mereka hanya mengenal konsep pembagian peran yang permanen antara perempuan dan pria . Peran tersebut mereka jalankan sampai mereka ajal.

Fungsi-fungsi dalam organ tubuh pria dan perempuan tidak penting bagi mereka. Yang mereka utamakan pembagian peran pria dan perempuan. Itu bedanya homoseks dengan waria. Waria adalah pria yang ingin menjadi perempuan dengan mengubah keadaan tubuhnya. Dari tubuh pria, menjadi tubuh yang mirip perempuan. Dia lantas membesarkan dada menjadi payudara, dan mengubah alat kelaminnya.

Sepengamatan Fadhil, di kalangan kaum homoseksual, peran itu cukup ditandai dengan ada tidaknya bulu-bulu di sekitar genital mereka. Yang berperan perempuan mencukur habis bulu-bulu mereka, sedang yang berperan pria tidak. Saya melihat itu pada jenazah mereka. Yang berperan perempuan melakukan oral, sedang yang berperan pria melakukan sodomi,ungkapnya. Fadhil sependapat dengan Sarlito dan Adrianus, pembagian peran itu bersifat permanen.

Saya mendapatkan pengakuan itu ketika menyidik para tersangka pembunuh yang homoseks,ucapnya. Kepada wartawan, tersangka Ryan pun mengaku, sudah lima tahun ia mengenal dekat Heri. Tetapi selama itu, keduanya tidak berhubungan intim karena keduanya berperan sebagai perempuan.

Pembagian peran ini kata Adrianus dan Sarlito, menentukan eksistensi setiap homoseks. Jika salah seorang dari pasangan homoseks hilang (lari, selingkuh, kembali menjadi pria sesuai fungsi tubuhnya, atau meninggal), maka homoseks lainnya mengalami krisis peran, krisis eksistensi. Itulah yang membuat tersangka Ryan memutilasi Heri. Ryan tidak ragu menghabisi Heri karena Ryan merasa perannya sebagai perempuan terancam oleh ucapan Heri.

Sarlito mengatakan, sebagai kelompok minoritas yang terus merasa terancam, kaum homoseks bisa cepat mengatasi berbagai persoalan eksternal mereka karena ada perasaan senasib yang harus mereka tanggung bersama. Oleh karena itu, jarang muncul kejahatan yang melibatkan homoseks karena motif ekonomi, atau motif eksternal lainnya. Tapi begitu menyangkut persoalan internal seperti persoalan peran tadi, mereka akan bersikap loose-loose,tutur Adrianus.

Lebih keji

Kriminolog UI lainnya, Prof Dr Ronny Niti Baskoro, mengutip sejumlah hasil riset internasional mengakui, kaum homoseks lebih keji ketika meledak ketimbang kaum lesbian. Bukan hanya karena yang satu pria dan yang lain perempuan, tetapi juga karena pasangan homoseks lebih terbuka, lebih loyal dan setia, serta berbasis pada kasih sayang pasangan ketimbang kebutuhan seksual mereka. Bisa dimaklumi bila kemarahan mereka menjadi seperti amuk bila dikhianati pasangannya, atau pasangannya direndahkan, paparnya.

Kaum lesbian umumnya, lanjut Ronny, berbanding sebaliknya. Mereka lebih sebagai pasangan yang tertutup, lebih mengutamakan kepuasan seksual ketimbang kesetiaan, dan lebih mudah kembali menjadi perempuan sesuai organ tubuhnya, atau kembali lagi menjadi lesbian ketika menemukan pasangan yang cocok.

Karena sifat komunitasnya itu, kaum lesbian lebih mudah menjadi biseks ketimbang kaum homoseks. Kaum homoseks yang menikah lain jenis, ia menikah hanya sebagai kedok saja. Dia tetap homoseks dan bukan biseks,tegas Ronny. (Kompas,Selasa, 22 Juli 2008 | 06:19 WIB)



Oleh: Wahyu Awaludin

Homoseksual berasal dari bahasa Yunani, “homo” berarti “sama” dan bahasa Latin “sex” berarti “seks”. Istilah homoseksual diciptakan tahun 1869 oleh Dr Karl Maria Kertbeny, seorang dokter berkebangsaan Jerman-Hongaria. Istilah ini disebarluaskan pertama kali di Jerman melalui pamflet tanpa nama. Kemudian penyebarannya ke seluruh dunia dilakukan oleh Richard Freiher Von Krafft-Ebing di bukunya “Psychopathia Sexualis”.[1]. Menurut para ahli, homoseksualitas bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu kelainan seksual.[2]

Berapakah jumlah kaum gay? Menurut penelitian Alfred Kinsey (1948, 1953) di Amerika Serikat, jumlah persentase gay dan lesbian (waria tidak dihitung) adalah sebanyak 10% dari total penduduk negara tersebut.[3]

Bagaimana di Indonesia? Apabila kita pakai rumus ini, maka jumlah gay dan lesbian di Indonesia sekitar 20 juta orang. Tetapi untuk masyarakat di Indonesia, problemnya adalah identitas: tidak semua orang yang melakukan hubungan sesama gender atau dengan waria mengidentifikasi diri sebagai gay atau lesbian (bahkan yang berhubungan dengan waria tidak beridentitas apa-apa). Kalau identitas radar-penuh gay/lesbian/waria dipakai sebagai dasar perhitungan, menurut perkiraan sekitar 1% penduduk yang demikian: jadi jumlahnya sekitar 2 juta orang.

Namun kalau kita pakai perhitungan cara Kinsey (pernah melakukan hubungan seksual dengan sesama lelaki, setidak-tidaknya sekali), maka jumlahnya bisa mencapai 53%. Untuk Indonesia, ini berarti angkanya sekitar 53 juta lelaki. Kaum waria biasanya mengatakan, kalau perilaku seksual lelaki-waria yang dipakai sebagai dasar perhitungan, persentasenya bisa mencapai 90%, khususnya pada kelas pekerja. Ini berarti dari sekitar 190-an juta kelas pekerja, dengan asumsi separuhnya adalah perempuan (95 juta), maka 85,5 juta lelaki Indonesia pernah atau akan pernah melakukan hubungan seks dengan waria atau yang dianggap waria (termasuk di sini gay atau lelaki biasa).[4]

Menurut www.manjam.com, sebuah situs khusus gay, jumlah gay yang terdaftar di web tersebut di kota Jakarta saja sebanyak 3000 orang.[5] Sedangkan hasil survey YPKN (Yayasan Pelangi Kasih Nusantara) menunjukkan, ada 4.000 hingga 5.000 penyuka sesama jenis di Jakarta. Menurut Ridho Triawan, pengurus LSM Arus Pelangi, sebuah yayasan yang menaungi lesbian, gay, waria dan transjender, setidaknya ada 5000 gay serta lesbian yang hidup di Jakarta[6]. Secara kalkulasi, pakar seksualitas Dr Boyke Dian Nugraha sempat mencatat bahwa frekuensi kaum gay yang murni adalah satu dari 10 pria.[7] Sedangkan Gaya Nusantara[8] memperkirakan, 260.000 dari enam juta penduduk Jawa Timur adalah homo. Angka-angka itu belum termasuk kaum homo di kota-kota besar. Dr. Dede Oetomo memperkirakan, secara nasional jumlahnya mencapai sekitar 1% dari total penduduk Indonesia. Kalau asumsi Dr Dede Oetomo benar, tentunya itu sebuah angka yang membelalakkan mata.[9]

Jika kita berasumsi bahwa data di atas adalah benar, berarti kita selama ini sudah hidup dan bermasyarakat cukup lama dengan kaum gay di Indonesia. Mereka ada di tengah-tengah kita.

Pertanyaan selanjutnya muncul, bagaimana sebenarnya eksistensi mereka di kota-kota besar, seperti di Jakarta, Bandung, Surabaya dan lainnya? Bagaimana seluk-beluk kehidupan mereka? Bagaimana sikap masyarakat di sekitar mereka ketika menyadari bahwa mereka adalah seorang gay?

Sejarah Singkat

Keberadaan kaum gay adalah fakta. Mereka adalah sebuah realita abad 21. Kini mereka mulai berani memunculkan diri di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia.

Sebenarnya, kemunculan mereka di Indonesia dimulai sekitar tahun1920-an[10]. Pada tahun itu, komunitas homoseks mulai muncul di kota kota besar Hindia Belanda.[11] Sayang penulis tidak mempunyai info lebih detail mengenai nama-nama komunitasnya. [12]

Waktu pun berlanjut. Di Jakarta pada tahun 1969, organisasi wadam (baca: gay) pertama, Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD) berdiri difasilitasi oleh Gubernur DKI Jakarta Raya, Ali Sadikin.[13]

Tanggal 1 Maret 1982, organisasi gay terbuka pertama di Indonesia dan Asia, Lambda Indonesia, berdiri, dengan sekretariat di Solo. Dalam waktu singkat terbentuklah cabang-cabangnya di Yogyakarta, Surabaya, Jakarta dan tempat tempat lain. Terbit juga buletin G: gaya hidup ceria (1982-1984).[14] Akibat dari munculnya organisasi Lambda Indonesia, di tahun1992, terjadi ledakan berdirinya organisasi-organisasi gay di Jakarta, Pekanbaru, Bandung dan Denpasar. Juga di tahun 1993 Malang dan Ujungpandang menyusul.[15]

Pada tahun-tahun selanjutnya, kaum gay makin banyak mendirikan organisasi dan komunitas, hanyasaja belum berani unjuk diri secara terang-terangan ke masyarakat Indonesia. Namun, akhir-akhir ini fakta itu bergeser. Pasalnya, acara-acara TV yang menampilkan sosok gay semakin banyak. Kebanyakan dari mereka muncul untuk “menginformasikan” kehidupan kaum gay kepada masyarakat.

Salah satunya acara Empat Mata yang dibintangi oleh komedian Tukul Arwana. Pada tanggal 16 Mei 2007, Empat Mata menghadirkan seorang gay yang bernama Dede.[16] Dede hadir menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar dunia gay.[17]

Pemunculan Dede ini dinilai oleh sebagian pihak sebagai tanda-tanda bahwa masyarakat Indonesia mulai menerima kehadiran kaum gay, atau setidaknya mulai tumbuh rasa ingin tahu tentang kehidupan kaum gay.[18]



2.2 Kehidupan Kaum Gay Jakarta

Jakarta sebagai kota metropolitan menawarkan kehidupan yang sangat menarik. Mulai dari narkoba sampai buku-buku agama, mulai dari mal-mal megah sampai perhiasan berharga jutaan rupiah. Beragam komunitas pun ada disini, mulai dari aktivis lingkungan sampai mafia internasional. Begitu pula dengan kaum gay, mereka pun “mengambil tempat” di Jakarta. Mereka membuat komunitas sendiri yang ekslusif (dalam arti hanya khusus kaum gay).

Sebenarnya, kehidupan kaum gay tidak berbeda dengan apa yang biasa kita sebut “kaum normal”. Mereka makan, minum dan kadang terluka. Yang membedakan kaum gay dengan kaum heteroseks hanya orientasi seksualnya. Selebihnya, tidak ada perbedaan.[19]

Seperti masyarakat umumnya, kaum gay pun mempunyai strata sosial, apalagi di Jakarta, strata sosial ini terlihat lumayan jelas. Khusus di kalangan gay, pembagian kelas tampak pada tempat ngeber[20], cara berpakaian dan berasesoris, yang semuanya berawal pada kombinasi tingkat penghasilan dan aspirasi kelas mereka.[21]



Kaum gay yang low class biasanya ngeber di diskotik-diskotik murah dan tidak terkenal. Sedangkan kaum gay yang high class biasanya lebih menginginkan sutu private party. Dengan private party itu mereka bisa membuat acara sebandel mungkin, sebebas mungkin, dan tentunya sesuai dengan keinginan mereka.



Bahkan saat ini ada Event Organizer (EO) yg khusus membuat konsep acara seperti apa yang menjadi keinginan konsep pesta “gila” mereka. EO ini melayani jasa membuat konsep pesta untuk kaum gay. Bahkan EO ini juga melayani jasa resmi dan formal seperti gathering, wedding dan exhibition.[22]



Walau pasti menelan biaya mahal, mereka seolah tidak peduli. Yang mereka cari adalah kesenangan, kenikmatan diri sendiri, mencari arti dari kesenangan untuk dirinya. Karena bagi kaum homo seolah sulit untuk mendapatkan kenikmatan dan kepuasan diri yang notebene adalah kepuasan seksual dengan sejenis mereka. Sebebas apapun tetap saja mereka harus sembunyi-sembunyi untuk memperolehnya.



Lagipula, alasan mereka membuat pesta dan dugem sendiri adalah karena di tempat umum, belum tentu semua orang menerima kaum gay. Ada beberapa orang yang ketika kaum gay datang ke diskotik, mereka akan membuang muka atau mendengus jijik. Walau kaum gay berprinsip “nggak usah peduli apa kata orang”, hal ini tetap saja membuat membuat mereka tidak nyaman. Dari situlah, kemudian mereka membuat tempat dugem khusus kaum gay.[23]



Di Jakarta sendiri, ada beberapa tempat ngeber dan dugem khusus kaum gay[24]. Yaitu diantaranya:

1. Lap.Banteng (BT), campur, malam, komersial.

2. Tugu/Gelanggang Senen, campur, malam, komersial.

3. Bioskop Grand Duta/Mulya Agung (Grand/MA), persimpangan Jln Kramat Raya-Kwitang, campur, siang & malam.

4. Terminal Bus Senen (kamar mandi 'Si Unyil'), campur, komersial.

5. Dangdut Senen. sebelah gelanggang Senen/seberang terminal bus, campur, komersial.

6. Cililitan (Cili-terminal lama), di sekitar terminal lama, campur, malam Minggu.[25]

7. Gedung Bioskop Cinere, di lobi, mayoritas brondong, malam.

8. Ciputat-Gedung bioskop Sahara, di pelataran, mayoritas brondong, malam.
Kolam renang Ancol (di bawah 'Air Terjun'). Minggu sore.

9. Sogo. Plaza Indonesia. Hotel Grand Hyatt, bundaran HI, mayoritas brondong, siang & malam.

10. Pasaraya Big & Beautiful Blok M, toilet lantai dasar/pintu masuk parkir, campur, siang & malam.

11. Blok M Plasa/Terminal Kebayoran Baru, mayoritas brondong, siang & malam.

12. Atrium/Segitiga Senen,. depan Studio 21, mayoritas brondong, siang & malam.

13. Metro Kafe, Puri Indah Mal Lt.1, 10.00-21.00 WIB.

14. Kebanyakan Disko di Jakarta adalah tempat mangkal gay.

15. Tanamur (disko), Jln Tanah Abang,Kamis malam banyak gay, Minggu malam lines, campur, komersial.

16. The New Moonlight (ML), persimpangan Hayam Wuruk-Mangga Besar, Rabu malam & Sabtu malam Minggu, gay & lines.

17. Kasturi Diskotik, Jln Mangga Besar Raya 10 E, Senen malam Selasa, Gay Night, 22.00 WIB-selesai.

18. Furama Pub & Diskotik, Jln Hayam Wuruk Raya 75 (sebelah Holland Bakery), Selasa malam Rabu, Gay Night, 22.00 WIB-selesai.



Mereka kadang janjian lewat telepon, lalu ketemuan di tempat-tempat di atas. Setelah mengobrol beberapa jam, kadang mereka menyewa hotel untuk melakukan hubungan intim. Dalam hal ini, tempat ngeber mereka berfungsi sebagai tempat janjian. Namun, sering juga tempat ngeber mereka dijadikan tempat untuk berbagai perlombaan/kontes.[26]

Biasanya, kalau mereka ingin ngeber, mereka akan datang dengan baju necis, mahal, membawa mobil pribadi dan berpenampilan bak selebritis. Biasanya mereka yang seperti ini berarti sudah saling mengenal.[27]



Namun bagi kaum gay yang malu-malu, dunia maya menjadi salah satu alternatif untuk mencari pasangan. Ferdi, sapaan karib Ferdinand, salah satu gay Jakarta, tak memungkiri bahwa www.friendster.com sudah menjadi ajang mencari jodoh. Ferdi mengaku, dari kenal di Friendster, kemudian dilanjutkan dengan E-Mail (surat elektronik). "Akhirnya telpon-telpon dan ketemuan deh," kata Ferdi.[28] Selain Friendster, situs lain yang sering dijadikan tempat chatting kaum gay adalah Yahoo! Messenger[29]. Selain itu, kaum gay juga membuat situs pertemanan sendiri (khusus kaum gay), diantaranya adalah www.gayanusantara.org, www.sobatan.com, dan www.manjam.com.[30]



Memang kehidupan kaum gay Jakarta identik dengan kehidupan malam. Hal ini karena di kehidupan siang hari, di Indonesia, mereka masih belum bisa menemukan kebebasan. Sebagian masyarakat masih ada yang membenci mereka sehingga membuat mereka tidak bisa bergerak leluasa.



2.3 Bahasa Gaul Kaum Gay Jakarta

Kaum gay Jakarta –seperti masyarakat umumnya- mempunyai istilah-istilah tersendiri dalam percakapan, atau bisa disebut bahasa gaul (baca: khusus untuk kaum gay). Bahasa ini umumnya mereka pakai ketika mereka sendiri beridentitas sebagai gay, atau ketika bertemu dengan kaum gay lain dan sedang ngeber.

Dalam menciptakan bahasa gaul ini, kaum gay tidak terikat satu aturan tertentu. Bagi mereka yang penting adalah nikmat dan jadi. Di bawah ini adalah penjelasan singkat bagaimana kreativitas bahasa itu diekspresikan dalam keberagaman cara dan metode modifikasi, [31] diantaranya yang disebut sebagai bahasa "binan".[32]

1. Bentuk modifikasi regular

o Tambahan awalan "si"
Awalan "si" biasanya digunakan oleh waria di Jawa Timur. Cara pengunaannya dengan menambahkan kata "si" pada setiap kata yang digunakan dengan terlebih dahulu memenggal suku kata pertama dari suku kata belakang, sehingga menghasilkan bunyi baru. Syaratnya, setiap kata modifikasi tesebut harus berakhir dengan huruf konsonan.
Cara pembentukan: lanang (jw. laki-laki) dipenggal menjadi lan + ang. Kemudian pada kata lan di depannya diberi awalan "si", sehingga menjadi kata silan, yaitu "si" + lan.
Contoh lain:
wedhok (jw. Perempuan) -> siwed ("si"+wed)
Makan -> simak("si" + mak)
Pergi -> siper("si" + per)

o Tambahan akhiran "ong"
Penambahan akhiran "ong" adalah modifikasi sederhana lain yang Bering juga digunakan. Penggunaannya dengan menyesuaikan/mengasimilasi setiap suku kata terakhir dalam bahasa keseharian dengan bunyi "ong" dan setiap huruf vokal suku kata pertama menjadi bunyi e.
Cara pembentukan: Kata "banci", suku kata ban- dirubah bunyinya menjadi "ben", sedangkan suku kata akhir (ci) diasimilasikan dengan akhiran "ong" sehingga menjadi kata "cong". Jika kedua suku kata digabung (ben + cong) berubah menjadi kata "bencong".
Contoh lain:
laki -> lekong (la+ ki -> le +kong)
Makan -> mekong (ma + kan -> me + kong)
Homo -> hemong (ho + mo -> he + mong)

o Tambahan akhiran "es" atau 'i'
Kaidah yang berlaku dalam penambahan akhiran "es" hampir sama dengan modifikasi dengan akhiran "ong", kecuali pada penambahan suku kata akhir disesuaikan dengan bunyi "es" atau "i". Sehingga kata "band" bisa dimodifikasi menjadi kata "bences" atau "benci".
Contoh lain: lekes atau leki (la+ ki -> Le + kes atau ki) jalan -> jeles atau jeli (Ja+ lan -> je + les atau li)

o Tambahan sisipan "in"
Dibanding dengan modifikasi regular lainnya, sisipan "in" sedikit lebih sulit dalam penerapannya. Dalam modifikasi dengan sisipan "in", setiap suku kata dibagi diasimiliasikan dengan sisipan bunyi "in".
Cara pembentukan:
Misalnya kata "banci", suku kata awal ban dipisahkan dengan suku kata akhir ci, sehingga menjadi dua bunyi yang benar-benar terpisah. Kata ban dan ci disisipi dengan kata "in" sehingga berbunyi "binan cini'.
Contoh lain:
lesbi -> lines bini (les+ bi -> lines+ bini) homo -> hino mino (ho+ mo -> hino+ mino)



2. Bentuk modifikasi irregural

o Dengan memberi makna beda pada istilah kata umum. Jenis kata plesetan ini dibentuk dengan berbagai alasan antara lain bisa dikarenakan kesamaan sifat atau karakter antara dua kata atau bisa dikarenakan semata-mata oleh kesamaan bunyi. Untuk yang kata ganti yang digunakan karena analogi karakter bisa ditemui antara lain pada kata-kata berikut ini; "jeruk" (pemeras), "idealisme" (idiot), "bawang" (bau), "cuci WC" (menjilati dubur, analingus), "madonna° (matre), dll. Sedangkan plesetan kesamaan bunyi antara lain; "sandang" (sana), " "bandana" (bandit), "cumi-cumi" (berciuman) dll.

o Plesetan Singkatan kata-kata umum
Misalnya:
"BBC" atau "bibisi" (becak, tukang becak)
"mojokerto" (mojok)
"texas" (terminal)
"California" (pinggir kali)
dll.

o Kata-kata yang khusus, istilah yang hanya ditemukan dalam kalangan gay. Kata-kata yang dalam pengertian bahasa lain terdengar tidak ada makna.
Misal; "akika" (aku)
"diana" (dia)
"amir" (amat, sangat)
"cik pin" (pincang)
"la nina" (lanang)
"habibah" (habis)
"lucy-lucy" (elus-elus)
"metelek" (gay yang baru bercinta)
dll.

o Istilah=Istilah atau Singkatan
Misal:
"ADIIYA" (Adu titit saja)
"BAKSO" (Badannya seksi sekali bo!)
"HANDOKO" (Hanya doyan kontol)
"P&G" (Penjong & gedong), "UMNO" (Urusan Meong Number One) dll.

(Catatan: Aturan-aturan tersebut tidak selalu berlaku secara terpilah-pilah, kadang-kadang dalam satu kata bisa terjadi merupakan dua cara plesetan sekaligus).

2.4 Tanggapan Masyarakat dan Pemerintah serta Diskriminasi Terhadap Kaum Gay

Secara umum, perubahan nilai sosial dan cara pandang masyarakat saat ini cukup bisa menerima komunitas kaum gay. Walaupun baru hanya sebagian lapisan masyarakat saja.[33] Bahkan, ada juga kaum heteroseksual yang bergiat di LSM gay. Mereka bukan gay, tapi mereka peduli terhadap gerakan gay.[34] Direktur Arus Pelangi Jakarta, Rido Triawan, mengatakan, sebanyak 30% anggota Arus Pelangi merupakan kaum heteroseksual.[35] Padahal Arus Pelangi adalah LSM khusus gay.



Walau begitu, masyarakat yang menolak kaum gay juga ada, bahkan itulah yang mayoritas. Mereka terdiri dari beragam latar belakang, mulai dari organisasi agama, sosial, sampai pendidikan.[36]



Orang yang membenci kaum gay biasa disebut Homophobia.[37] Reaksi kaum Homophobia apabila bertemu gay ataupun berada di lingkungan gay adalah merasa tidak tenang, gelisah, khawatir, takut tertular “penyakit homoseksual”[38], merinding dan tidak sedikit yang langsung kabur dan menjauh[39]. Namun ada juga kaum Homophobia yang sampai mengisolasi dan memprovokasi masyarakat untuk menjauhi kaum gay.



Berbeda dengan kaum waria yang merasa sangat didiskriminasikan oleh pemerintah, pada umumnya pemerintah jarang sekali membuat pernyataan melecehkan atau mendiskriminasi kaum gay, walau tetap ada beberapa pengecualian, salah satunya adalah perkawinan sejenis.[40] Namun, untuk masalah yang satu ini, kaum gay terus melobi pemerintah supaya pemerintah mau melegalkan perkawinan sesama jenis. Seperti diketahui, Indonesia hanya memperbolehkan perkawinan antar lawan jenis. Demi terwujudnya tujuan itu, banyak hal yang mereka lakukan, seperti menggelar seminar sampai menerbitkan buku yang berjudul “Indahnya kawin sejenis”.[41]

ANALISIS DATA

Ketika membuat makalah ini, penulis sempat membuat sebuah kuisisoner yang bertujuan untuk mengetahui seluk-beluk kehidupan kaum gay Jakarta. Kami memberikan 4 pertanyaan kepada 20 orang dalam bentuk kuisioner.

Pertanyaan pertama adalah, “Darimana Anda mengenal istilah homoseksual?”. Mayoritas responden (13 orang), menjawab dari media elektronik atau cetak. Dilain pihak, hanya 4 orang yang menjawab dari buku dan hanya 3 orang yang menjawab dari teman. Ini menunjukkan bahwa media sangat berperan besar dalam penyebaran informasi tentang homoseks/gay.

Pertanyaan kedua, “Pernahkah Anda mengalami homoseks?” Mayoritas responden (12 orang) menjawab belum pernah, dan hanya 8 orang yang menjawab sudah pernah. Tampaknya fakta ini berkolerasi dengan analisa Kompas bahwa 8-10 juta pria pada satu waktu pernah mengalami perbuatan homoseksual.[42]

Pertanyaan ketiga, “Pernahkah Anda melihat adegan homoseksual sedang kontak fisik? Darimana Anda mengetahuinya?”. Mayoritas responden yang menjawab “Pernah, dari TV ataupun langsung” sebanyak 15 orang, sedangkan yang menjawab belum pernah hanya 5 orang.

Pertanyaan keempat, “Menurut Anda apakah factor yang mempengaruhi seseorang menjadi homoseksual?” Mayoritas responden (11 orang) menjawab “Lingkungan”, 6 orang yang menjawab “Genetik” dan 3 orang menjawab “Ragu-ragu”.

Dari data diatas, penulis menganalisa bahwa sebenarnya masyarakat kita masih kurang memahami hakikat homoseksualitas/gay. Contohnya pada pertanyaan keempat, masih ada 3 responden yang menjawab “Ragu-ragu” ketika ditanya penyebab seseorang menjadi homoseks.

Selain itu, penulis menyimpulkan bahwa media sangat berpengaruh dalam penyebaran informasi tentang dunia gay. Ini tentu bisa dimanfaatkan oleh pemerintah atau pihak yang berwenang menyosialisasikan eksistensi kaum gay. Media juga bisa digunakan oleh kaum gay sendiri untuk memperjuangkan diskriminasi dan kesewenang-wenangan yang ditujukan kepada mereka. Dan sebaliknya, bagi pihak-pihak yang “tidak menyetujui” adanya kaum gay, media juga bisa sangat berguna untuk mencapai tujuan mereka.


BIBLIOGRAFI

“Homoseksualitas” www.wikipedia.org. Diakses pada 25 Desember 2007.



Iwan Setiawan. “Homoseksualitas antara pilihan atau trend”.www.google.com. Diakses pada 25 Desember 2007.



“Pertanyaan yang Sering Diajukan dalam Kaitannya dengan Homoseksualitas” www.gayanusantara.org. Diakses pada 26 Desember 2007.



“Kaum Gay Dan Waria Satroni DPR “http://asia.geocities.com/arus_pelangi/. Diakses pada 28 Desember 2007.



“Kaum Gay Kehilangan Hak Publik”. http://asia.geocities.com/arus_pelangi. Diakses pada 28 Des 2007.



Hidayat Gunadi, Mujib Rahman, Sigit Indra dan Sujoko. “Jalan Berliku Kaum Homo Menuju Pelaminan”. Gatra Edisi 46. Beredar Jumat 26 September 2003.



“Realita GAY(homo) dan Rock an roll” www. disur.multiply.com. Diakses pada 24 Desember 2007.



Akbar A. Thalib, “Ada Gay di Empat Mata”. www.selalumuda.multiply.com. Diakses 26 Desember 2007.
Meneropong Kehidupan Kaum Homoseksual Ibukota”

http://lieagneshendra.blogs.friendster.com. Diakses 26 Desember 2007.



"Bukan Lelaki Biasa (Menguak Kehidupan Kaum gay Jakarta)” http://erlyandiaa.multiply.com. Diakses pada 26 Desember 2007



“Ngeber” www.gayanusantara.org. Diakses pada 26 Desember 2007



“Bahasa Gaul” www.gayanusantara.org. Diakses pada 26 Desember 2007



“Muhammadiyah dan NU Tolak Organisasi http://asia.geocities.com/arus_pelangi/ . Diakses pada 28 Desember 2007



“Homoseksual!”. www.kompas.co.id. Diakses pada 26 Desember 2007
[1] “Homoseksualitas” www.wikipedia.org. Diakses pada 25 Desember 2007



[2] Iwan Setiawan. “Homoseksualitas antara pilihan atau trend”.www.google.com. Diakses pada 25 Desember 2007

[3] “Pertanyaan yang Sering Diajukan dalam Kaitannya dengan Homoseksualitas” www.gayanusantara.org. 26 Desember 2007

[4] Ibid.



[5] www.manjam.com

[6] “Kaum Gay Dan Waria Satroni DPR “http://asia.geocities.com/arus_pelangi/. Diakses pada 28 Desember 2007

[7] “Kaum Gay Kehilangan Hak Publik”. http://asia.geocities.com/arus_pelangi. DIakses pada 28 Des 2007



[8] Gaya Nusantara adalah satu yayasan khusus untuk kaum gay yang sangat terkenal di Indonesia. Yayasan ini berdomisili di Surabaya. Mereka menerbitkan buku, bulletin, majalah dan mengadakan acara serta seminar khusus untuk kaum gay.



[9] Hidayat Gunadi, Mujib Rahman, Sigit Indra dan Sujoko. “Jalan Berliku Kaum Homo Menuju Pelaminan”. Gatra Edisi 46. Beredar Jumat 26 September 2003



[10] “Realita GAY(homo) dan Rock an roll” www. disur.multiply.com. Diakses pada 24 Desember 2007



[11] Nama Indonesia pada waktu itu
[12] Ibid.

[13] Ibid.



[14] Ibid.

[15] Ibid.



[16] Nama lengkapnya Dr. Dede Oetomo, lahir tanggal 6 Desember di Pasuruan. Dia adalah orang yang pertama kali mengumumkan bahwa dirinya adalah seorang gay di Indonesia. Berkat itu, sekarang dia mendapat julukan “Presiden Gay Indonesia”. Penerima penghargaan internasional Felipa De Souza Award 1998 di New York ini adalah pendiri Yayasan Gaya Nusantara dan dia sekarang menjadi Dewan Pembinanya. Penulis buku ‘Memberi Suara Pada Yang Bisu' ini juga laris sebagai narasumber untuk kegitan-kegiatan seminar di bidang gender, kesehatan seksual, sosial maupun politik. Bukan cuma di Indonesia saja, namun juga di mancanegara.



[17] Akbar A. Thalib, “Ada Gay di Empat Mata”. www.selalumuda.multiply.com. Diakses 26 Desember 2007



[18] Ibid.
[19]“ Meneropong Kehidupan Kaum Homoseksual Ibukota”

http://lieagneshendra.blogs.friendster.com. Diakses 26 Desember 2007



[20] Ngeber adalah istilah kaum gay untuk “tempat kumpul-kumpul”. Biasanya di diskotik.



[21] “Pertanyaan yang Sering Diajukan dalam Kaitannya dengan Homoseksualitas”

http://www.gayanusantara.org/. Diakses pada 26 Desember 2007



[22]"Bukan Lelaki Biasa (Menguak Kehidupan Kaum gay Jakarta)” http://erlyandiaa.multiply.com. Diakses pada 26 Desember 2007



[23] Ibid.



[24] “Ngeber” www.gayanusantara.org. Diakses pada 26 Desember 2007



[25] Untuk tempat no. 6 ini, penulis mendapat informasi agar kaum gay jangan datang selain malam Minggu, karena berbahaya.

[26] “Bukan Lelaki Biasa…” ibid.
[27]“Meneropong…” loc.cit



[28] “Meneropong…” loc.cit



[29] Ibid.



[30] Penulis mengambil kesimpulan ini setelah melakukan penelusuran di www.google.com

[31] “Bahasa Gaul” www.gayanusantara.org. Diakses pada 26 Desember 2007



[32] Mohon maaf sebelumnya jika ada kata-kata yang terkesan tidak senonoh. Kata tidak disensor untuk menjaga “keaslian” bahasa binan.

[33] “Bukan Lelaki Biasa…” loc.cit.
[34] “Muhammadiyah dan NU Tolak Organisasi http://asia.geocities.com/arus_pelangi/ . Diakses pada 28 Desember 2007



[35] Ibid

.

[36] Dari berbagai sumber.

[37] “Kaum Gay Kehilangan…” loc.cit.

[38] Kaum Homophobia biasanya menganggap bahwa homoseksual itu adalah semacam penyakit menular.



[39] “Kaum Gay Kehilangan…” loc.cit.



[40] “Pertanyaan yang Sering…” loc.cit.



[41] “Kaum Gay Kehilangan…” loc.cit. Kami tidak mengetahui siapa penulis buku ini.

[42] “Homoseksual!”. www.kompas.co.id. Diakses pada 26 Desember 2007
/span> “Homoseksual!”. www.kompas.co.id. Diakses pada 26 Desember 2007

Blog Widget by LinkWithin
10% Off All Fragrances
Get 10% off every item you purchase at FragranceX.com!